Ketidakterpaduan Pembangunan Ekonomi

14 05 2010

Kegagalan pembangunan di suatu negara atau daerah terutama disebabkan oleh kesalahan dalam mendesain ruang, menentukan urutan waktu, mengidentifikasi prioritas dan mengintegrasikan sumberdaya secara terpadu. Pembangunan yang kita laksanakan sekarang ini terlalu diprioritaskan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan hasil akhir yaitu efisiensi, produktivitas, stabilitas dan pertumbuhan dengan mengabaikan pembangunan di bidang sosial budaya.

Pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan sosial dan budaya, ketiganya memiliki hubungan yang komplementer. Pembangunan ekonomi tidak mungkin dapat dilakukan dengan berhasil dan tidak bisa berkesinambungan tanpa keserasian dengan pembangunan sosial budaya. Pengabaian pembangunan sosial budaya memunculkan keserakahan, ketidakhalusan budi pekerti dan ketidakjujuran yang mengakibatkan terjadinya kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup. Pembangunan di bidang sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembangunan di bidang ekonomi. Investasi di bidang sosial akan mendorong pertumbuhan ekonomi, kajian bank Dunia di beberapa negara menunjukkan bahwa pembangunan di bidang sosial yang ditunjukkan dengan indikator angka pertisipasi sekolah berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya dihasilkan oleh penambahan modal dan tenaga kerja, akan tetapi yang lebih menentukan adalah kualitas sumber daya manusia yang disebut human capital. Dengan demikian investasi di bidang sosial seperti pendidkan, kesehatan, pelatihan, keagamaan, dan karakter memegang pranan penting dalam meningkatkan produktivitas.

Akhir-akir ini kualitas SDM lebih menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara atau perusahaan dari pada modal uang. Pembangunan ekonomi akan mengakibatkan pemborosan sumber daya apabila kita mengabaikan pembangunan budaya, capaian pembangunan ekonomi tidak banyak manfaatnya jika tidak memiliki mentalitas pembangunan yang dapat memanfaatkan dan memelihara seluruh sumberdaya yang ada. Vietnam mampu merubah mentalitas perang ke mentalitas pembangunan dengan semboyan pembaharuan (“Doi Moi”). Cina membangun teknologi dengan mengutamakan konstruksi sosial dengan kekuatan budaya, hukum dan organisasi masyarakat. Korea di bawah Park Chung Hee menanamkan nilai “Semaul Undong” yang mengembangkan 3 nilai yaitu Diligence (kerja keras/rajin), self reliance (kemandirian) dan cooperation (gotong royong). Pembangunan bebasis nilai tersebut ternyata sangat menenentukan keberhasilan Korea membangun ekonominya.

Pembangunan nilai seperti ini menyangkut seluruh aspek kehidupan yaitu ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, sosial, budaya, fisik dan lingkungan. Kita melakukan sebaliknya membangun ekonomi dan fisik tanpa memperhatikan pembangunan nilai. Menurut Koentjaraningrat nilai budaya (mentalitas pembangunan) adalah mentalitas yang berorientasi pada masa depan, hemat, memiliki hasrat bereksploitasi dan berinovasi, memiliki nilai achievement/berkarya, percaya diri, kurang berorientsi vertikal, bertanggung jawab dan berdisiplin murni. Mental pembangunan seperti ini harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini.

Di Jepang, penanaman disiplin sangat ketat dilakukan sejak di awal usia sekolah sampai sekolah menengah atas, ketika di perguruan tinggi tanpa aturan yang ketat mereka sudah terlatih disiplin. Menanamkan mentalitas yang kuat dapat dilakukan dengan memberi contoh yang baik, memberi perangsang yang cocok, melakukan persuasi dan sosialisasi, memberikan pendidikan budi pekerti pada generasi muda. Kita nampaknya telah gagal membungun budaya, karena kita terlena oleh pembangunan ekonomi dan fisik yang mengutamakan output fisik dan indikator ekonomi semata. Sampai Paulus Wirotomo berpendapat bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang memiliki kemiskinan budaya (cultural defisiency) dan kebudayaan seperti ini disebut kebudayaan yang terkalahkan (defeated culture). Keadaan ini mengakibatkan Mochtar Lubis nampak agak gusar dengan memberikan pertanyaan kepada bangsa ini: apakah kita harus berputus asa? Apakah kebudayaan adalah sesuatu yang melekat pada suatu masyarakat? Apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun? Dari semua pertanyaan tadi yang paling memberikan harapan adalah apakah kita memang telah membangun budaya kita selama ini?

Saya kira kita memang belum membangun budaya kita, kita belum mampu memadukan pembangunan ekonomi dengan sosial budaya. Kita hanya membangun ekonomi dan fisik bangsa semata, kita telah mengabaikan pembangunan sosial budaya.

Banyak orang berpendapat bahwa lingkungan merupakan faktor penentu budaya suatu masyarakat. Masyarakat yang terletak di daerah tropis dimanjakan oleh alam sehingga memiliki watak yang santai dan pemalas. Masyarakat yang tinggal di pinggir laut, seperti di kota Bengkulu memiliki kharakteristik mudah merasa cukup dengan semboyan “ikan sejerek dan bere secupak” (merasa puas dengan menghasilkan 1,5 kg beras dan 1 ikat ikan); tidak jelas orientasi dan tidak percaya diri dengan jawaban “idak adoo” ketika ditanya mau kemana dan apa pekerjaan anda. Masyarakat bermental lemah yang ditentukan oleh alam seperti ini ternyata tidak selalu benar, banyak negara yang terletak di daerah tropik dan pinggir pantai seperti Malaysia, Singapura, Afrika Selatan dan negara tropik dan pinggir pantai lainnya yang ternyata bisa maju sejajar, bahkan melebihi bangsa maju lainnya.

Pengabaian pembangunan budaya menuai tingkah laku perusak, pengotor, pembohong dan budaya tidak konstruktif lainnya. Gambaran masyarakat bermental kalah nampak pada budaya peruskan fasilitas umum, contohnya, perusakan rambu-rambu lalu lintas seperti cermin yang berada di tikungan jalan Bengkulu–Curup; perusakan fasilitas telpon umum; Pencurian halte bis di Jakarta; pencurian besi di jembatan-jembatan; pembuangan sampah di sembarang tempat; perobekan buku-buku di perpustakaan dan budaya-budaya lemah lainnya. Apa saja yang kita bangun dengan susah payah dapat dengan mudah di rusak karena kesalahan prioritas pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus diprioritaskan dan diserasikan dengan pembangunan ekonomi.

Kontributor :

Dr. Ir. H. Hermen Malik, M.Sc 

Direktur LP2B, Dosen Universitas Bengkulu, Anggota Dewan Riset Nasional





Direktur LP2B Mencalonkan diri sebagai Bupati Kaur

10 05 2010

Direktur LP2B Bengkulu Dr. Ir. H. Hermen Malik M.Sc., mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Bupati Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Dalam pencalonan ini, beliau memilih untuk berpasangan dengan Hj. Yulis Suti Sutri yang merupakan istri dari Alm. Gunawan Syantri  kandidat Balon Bupati Kaur yang meninggal 1 tahun yang lalu.

Kabupaten Kaur terletak dibagian paling selatan Provinsi Bengkulu. Kabupaten ini merupakan tanah kelahiran Dr. Ir. H. Hermen Malik, M.Sc dan tempat beliau dibesarkan hingga tamat Sekolah Menengah Tingkat Pertama.

Tekad untuk memajukan Kabupaten Kaur secara progresif dan berkelanjutan merupakan dorongan utama pencalonan Dr. Ir. H. Hermen Malik dalam Pilkada yang rencananya akan digelar bulan Juli mendatang. Pencalonan pasangan Dr. Ir. H. Hermen Malik M.Sc., – Hj. Yulis Suti Sutri sebagai calon Bupati – Wakil Bupati Kaur ini diusung oleh 3 partai parlemen yakni PAN, PMB dan PKS. Ketiga partai ini memiliki total 5 kursi di DPRD Kabupaten Kaur.

Dalam orasi didepan para anggota tim pemenangannya, Dr. Ir. H. Hermen Malik, M.Sc menyampaikan tekadnya untuk membangun Kabupaten Kaur secara sistematis, lebih cepat dan berkelanjutan. Pembangunan Sumberdaya Manusia Kabupaten Kaur yang meliputi bidang kesehatan, ekonomi dan pendidikan merupakan titik tolak utama dalam mempercepat pembangunan Kabupaten Kaur. Beliau menekankan pentingnya pembangunan perdesaan di Kabupaten Kaur dan pengembangan agroindustri baik skala rumah  tangga maupun skala besar. Sektor transportasi lokal juga menjadi perhatian beliau, temasuk sektor energi baik listrik maupun bahan bakar, pengairan dan infrastruktur perikanan dan kelautan.

Pemberdayaan perempuan juga menjadi hal yang utama dalam mendukung pembangunan Kabupaten Kaur. Hal ini disampaikan oleh Calon Wakil Bupati Hj. Yulis Suti Sutri yang merupakan satu-satunya perwakilan perempuan dalam Pilkada Kabupaten Kaur ini. Dalam pemaparannya, Hj. Yulis Suti Sutri memaparkan pentingnya peran perempuan dalam mendorong teciptanya generasi penerus yang sehat cerdas dan berkualitas.





Kebuntuan Inovasi Penghambat Keberhasilan Pembangunan

11 07 2009

Menteri Negara Riset dan Teknologi (2008) berpendapat bahwa mitos kuno tentang inovasi yang kita miliki yaitu inovasi harus dari pemerintah, harus dari impor dan harus berharga mahal merupakan mitos yang menghambat kemajuan. Akibatnya, inovasi dituduh bukan bagian dari jati diri bangsa.

 Lemahnya inovasi disebabkan oleh kurang kuatnya relasi antara ABG yang terdiri dari unsur Akademisi (peneliti), Bisnis dan Government (pemerintah). Dalam ABG, akademisi berfungsi sebagai penyedia modal invensi, bisnis bertindak sebagai produsen dan pemasar, sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator. Sebenarnya mitos tersebut tidak perlu muncul pada bangsa Indonesia, karena jauh sebelum itu Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa kosep inovasi adalah Niteni (mencaritahu, meneliti, memperhatikan), Niroake (menirukan, simulasi) dan nambahake (mengembangkan, memberi nilai tambah). Jadi tidak ada alasan bagi kita merasa rendah diri dengan kata inovasi dan berpendapat bahwa inovasi bukan budaya bangsa Indonesia.

Pentingnya inovasi digambarkan oleh semboyan kaum bisnis yaitu innovate or die (inovasi atau mati). Pebisnis yang tidak melakukan inovasi akan kalah bersaing di era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini. Semua pihak harus terus menerus melakukan inovasi terutama dalam menghadapi teknologi baru dan perubahan kebutuhan yang sangat cepat. Pebisnis atau institusi yang terlambat melakukan inovasi akan gulung tikar, di Indonesia sebagai contoh adalah pudarnya kegiatan telegram dan warung telekomunikasi oleh munculnya HP, wesel pos oleh kemudahan transasksi melalui bank, bioskop oleh berkembangnya CD dan kegiatan yang kurang inovatif lainnya. Nampaknya semboyan pebisnis tersebut sangat tepat dan sejalan dengan pendapat Alvin Toffler yang mengatakan peradaban manusia gelombang keempat (berikutnya) adalah Creative Capital atau modal inovasi yang paling menenentukan peradaban manusia pada masa mendatang. Diprediksi siapa yang memiliki budaya inovasi tinggi, dialah yang akan menguasai peradaban.

Kurang percaya diri dengan kata inovasi merupakan hambatan “budaya” yang harus dilenyapkan. Sebagian kita menganggap inovasi merupakan teknologi yang rumit, sulit, dan mahal yang hanya bisa dilakukan oleh orang manca negara. Inovasi tidak harus merupakan invensi, menurut Yuri Sato tahap awal inovasi dapat dilakukan melalui modivikasi dari produk yang sudah ada dengan mempertimbangkan faktor kualitas, fungsi dan harga. Oleh karena sangat sederhananya inovasi, di Jepang ibu rumah tangga yang memodifikasi bumbu masak (resep masakan) mengajukan hak paten sebagai hasil inovasi atau temuannya.

Inovasi dapat dilakukan oleh semua orang sesuai dengan profesi dan kemampuannya masing-masing, petani dapat melakukan inovasi di bidang budidaya pertanian, Industri rumah tangga dan pengrajin dapat melakukan inovasi dengan modifikasi dan efisiensi pada pekerjaannya, dan ibu rumah tangga dapat melakukan inovasi dengan pengembangan cara mengolah makanan dan cara memasak. Dengan cara seperti ini, saya yakin kita mampu dan percaya diri untuk menjadi masyarakat inovatif, mitos penghambat inovasi tersebut akan hilang dengan sendirinya.

Di Cina, untuk mendorong inovasi ke seluruh wilayah, Mao melakukan terobosan dengan mengerahkan orang-orang teknis untuk bekerja di perdesaan. Program Mao gagal karena kurang memperhatikan keserasian teknologi dan budaya. Program serupa pernah kita miliki yaitu TKS- BUTSI yang tidak diketahui hasil evaluasinya, dan sekarang muncul program sarjana masuk desa dari Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga yang nampaknya bukan merupakan modifikasi dari program TKS-BUTSI. Deng melakukan modifikasi dengan tiga program utama menuju sukses melalui perubahan sistem nilai yaitu: (1)memperbaiki kualitas sumber daya manusia; (2) menggiatkan perdagangan, distribusi dan mempertimbangkan keunggulan komparatif; (3) mendorong inovasi dan wirausaha. Belajar dari pengalaman Mao yang gagal, Deng membangun teknologi dengan mengutamakan konstruksi sosial dengan kekuatan budaya, hukum dan organisasi masyarakat.

Di Bengkulu, energi pembangunan hendaknya difokuskan pada kekuatan untuk mendorong inovasi seperti yang dilakukan Cina yaitu dengan mengembangkan sumber daya manusia, membangun teknologi yang serasi dengan konstruksi sosial dan budaya, dan mendorong wirausaha. Goenadi (2009) berpendapat atmosfir inovasi dapat ditumbuhkan melalui penempatan orang sesuai dengan bidangnya (the right man in the right place), membangun jaringan yang luas terutama dengan orang-orang yang merangsang tumbuhnya inovasi, melatih dan mengizinkan orang untuk mengambil resiko dalam mengembangkan hal-hal yang baru, mentolerir kesalahan dalam inovasi yang dapat diperbaiki, dan memberi penghargaan atas upaya inovasi. Pemerintah Provinsi, kabupaten dan kota dapat menumbuhkan atmosfir inovasi bagi masyarakat luas tanpa harus mengeluarkan banyak dana.

Rendah diri dan tidak percaya diri mengakibatkan kita terombang-ambing oleh gempuran budaya luar. Apa yang dikatakan oleh orang manca negara kita turuti; apa yang dikonsumsi oleh orang luar kita konsumsi; dan apa yang mereka teliti kita ikut menelitinya pula. Padahal, apa yang dilakukan mereka biasanya hanya cocok buat kondisi mereka dan akan menguntungkan mereka. Transfer teknologi hanya akan mereka berikan apabila teknologi tersebut tidak mungkin dikembangkan lagi, jadi kita tidak mungkin mengharapkan bantuan pihak luar secara sukarela, kita harus melakukan inovasi sendiri.

Banyak inovasi yang bisa kita lakukan dengan memodifikasi produk dari luar seperti dilakukan Jepang atau melakukan inovasi dengan dengan mengembangkan produk lokal. Contoh pengembangan produk lokal yaitu mengolah produk makanan dari umbi-umbian menjadi mie atau roti yang akan menjadi makanan bergengsi; mengembangkan makanan dari sukun yang sering disebut bread fruit karena tanpa diolah dan diberi bumbu tambahan rasanya sudah mirip roti; serta mengembangkan makananan dari hasil laut seperti rumput laut menjadi agar-agar dan makanan olahan lainnya. Pengembangan teknologi lokal seperti ini pasti dihambat oleh pesaing kita, karena kita memiliki keunggulan komparatif di bidang ini.

Marilah secara bersama-sama kita menyiapkan generasi kreatif untuk dapat bersaing dalam peradaban gelombang keempat (Creative Capital) yang akan datang. Kita harus menciptakan kondisi yang cocok buat semua orang untuk berinovasi. Pemerintah, Swasta, masyarakat semuanya dapat melakukan inovasi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Mitos kuno yang menghambat inovasi harus kita hilangkan, karena mitos tersebut diciptakan dalam rangka persaingan.

Kontributor:

Dr. Hermen Malik, M.Sc

Direktur LP2B





Profil Lembaga Pengkajian Pembangunan Bengkulu (LP2B)

1 07 2009

Pendiri :

Yayasan Semarak Bengkulu

Dasar Hukum :

SK No: 92/A-I/YSB-VI/2009 tanggal 18 Juni 2009

VISI :

Menjadi Lembaga pengkajian profesional untuk mendorong percepatan pembangunan Bengkulu

MISI:

1. Mendorong terciptanya good governance di Provinsi Bengkulu

2. Menyusun rekayasa pembangunan

3. Memberikan rekomendasi pembangunan kepada penyelenggara pemerintahan dan stake holder pembangunan lainnya di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota Bengkulu

4. Menjadi pusat data dan informasi pembangunan Bengkulu

AGENDA KEGIATAN

1. Seminar, Lokakarya, diskusi & talk show

2. Publikasi

3. Pengkajian, pendidikan dan pelatihan

4. Rekayasa

BIDANG-BIDANG

1. Bidang ekonomi dan manajemen pembangunan

2. Bidang Infrastruktur dan lingkungan

3. Bidang Agama, Sosial dan Budaya

4. Bidang Hukum dan HAM

5. Bidang Teknologi dan Informasi





Transformasi Sosial Budaya Menjadi Prasyarat Keberhasilan Pembangunan

1 07 2009

Menurut Sodjatmoko (1983) pembangunan ekonomi bukanlah pembangunan ekonomi semata akan tetapi suatu penjelamaan dari perubahan sosial dan kebudayaan. Pembangunan itu merupakan perubahan persepsi dan sikap terhadap kehidupan manusia secara utuh, bukan sebagian-sebagian.  Pemahaman kebanyakan orang  dalam pembangunan adalah dari aspek kebendaaan seperti penggunaan bibit unggul, pestisida, traktor, mesin pengolah hasil pertanian, generator , kendaraan bermotor, alat komunikasi, peralatan rumah tangga dan penggunaan teknologi lainnya. Teknologi baru dapat berkelanjutan apabila diikuti dengan pemahaman tentang organisasi kerja, meknisme kerja, disiplin kerja, waktu kerja, keterampilan kerja dan perubahan sosial lainnya. Oleh karena itu setiap pembangunan menyangkut semua aspek kehidupan. Penggunaan teknologi merupakan alat untuk mencapai kemudahan hidup dan hal tersebut barulah permulaan dari transformasi sosial.

Transformasi budaya di Cina dipicu oleh sabda Deng Xiaoping pada tahun 1982 yang mengatakan bahwa: kemiskinan bukan sosialisme; sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Pada kesempatan lain Deng berkata: menjadi kaya itu mulia. Kata-kata tersebut ternyata telah merubah sistem nilai di Cina, akibat dari perubahan sistem nilai tersebut banyak para pejabat, kader partai, dosen-dosen perguruan tinggi hengkang ke sektor perdagangan yang menggeliatkan bisnis secara besar-besaran di Cina. Pada generasi berikutnya telah terjadi perubahan profesi sumber daya manusia terutama ilmuan yang beralih profesi dari penjaga nilai konfusian menjadi penggerak dan pembela perubahan sosial terbesar di Cina. Perkataan Deng tersebut menjadi filsafat sosial yang mempengaruhi semangat kerja, menjadi sumber inspirasi, dan merubah sikap hidup yang berorientasi pada kemajuan.

Pembangunan tidak mungkin berhasil tanpa perubahan sistem nilai yang mendukung pembangunan yang kemudian diikuti oleh transformasi sosial untuk menjadi pondasi dalam persiapan penerimaan teknologi baru. Menurut pandangan Soedjatmoko, terdapat tiga pokok fikiran merubah masyarakat dalam mempersiapkan pembangunan. Pertama, proses pembangunan suatu masyarakat membutuhkan suatu transformasi sosial dalam persiapan penerimaan teknologi baru maupun sistem nilai baru. Fase ini merupakan titik awal dalam pencapaian penerimaan teknologi baru. Kedua, transformasi sosial merupakan proses yang berkesinambungan yang  membangun basis kekuatan yang mendukung proses pembangunan. Ketiga, teknologi merupakan alat untuk mempermudah pekerjaan manusia dan oleh karena itu tidak boleh memperalat manusia. Transformasi akan berjalan dan diterima dengan baik apabila memenuhi tiga aspek yaitu partisipasi masyarakat, berkeadilan sosial, dan ramah terhadap lingkungan.

Kegagalan transformasi   ekonomi  banyak disebabkan oleh perubahan tata nilai lama yang terlalu lamban dan tata nilai lama masuk kedalam organisasi baru.  Organisasi ekonomi disusun berdasarkan rasionalisasi yang sesuai dengan prinsip ekonomi yang mensyaratkan efisiensi tinggi. Masuknya nilai lama mengakibatkan organisasi ekonomi terlalu gemuk sehingga mirip dengan organisasi sosial. Kegagalan organisasi modern dalam bidang politik nampak terlihat dalam struktur dan sistem nilai organisasi yang memunculkan sistem patrimonial yang ditunjukkan dengan nepotisme. Organisasi seperti ini kurang mementingkan perubahan dalam menunjang pembangunan  (Abdullah, 2002). Transformasi tidak mungkin dilakukan sebagian-sebagian akan tetapi terintegrasi dengan sistematika dan tata urutan yang jelas.

Untuk mempercepat transformasi, setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing yang menentukan pola pembangunan masyarakat. Sistem nilai progresif yang telah tumbuh dalam masyarakat perlu dikembangkan. Budaya lokal yang mendorong sistem manajemen yang akuntabel dan transparan dihidupkan. Rekayasa organisasi yang sehaluan dengan kearifan lokal perlu dimerjerkan. Di Bengkulu, transformasi yang kita lakukan disesuaikan dengan kondisi Bengkulu yang kebanyakan merupakan petani. Sistem nilai yang menganggap petani adalah orang terbelakang, kumal, bodoh, miskin, kurang pergaulan harus dihilangkan. Seperti di Cina, kita juga bisa mengatakan “ menjadi petani bisa kaya, dan kaya adalah mulia”.  Dengan “sistem nilai baru ini”, transformasi pertanian yang dibutuhkan meliputi: (1) transformasi orientasi ekonomi dari pertanian subsisten ke pertanian komersial: (2) Transformasi dari teknologi tradisional mulai dari pengolahan tanah, pembibitan, pemupukan, penggunaan pestisida, cara panen, pengolahan dan pemasaran hasil; (3) transformasi dari sumber energi manusia menjadi energi ternak, fossil dan energi terbarukan (mesin pertanian); (4)   Transformasi tenaga kerja unskill ke tenaga kerja skill; (5) organisasi tradisional keluarga menjadi organisasi profisional; (6) transformasi sumber kapital ekstensif ke intensif; (7) Transformasi cara panen manual ke mesin; (8) Transformasi dari pasar  desa ke pasar global.

Selama ini dalam implementasi pembangunan, kita hanya memperhatikan teknologi secara parsial dan menganggap teknologi hanya menjadi persoalan teknis semata.  Saatnya kita merubah paradigma pembangunan yang berorientasi teknis ke penerapan teknologi dengan persiapan secara menyeluruh yaitu menyangkut persiapan bidang sosial dan budaya. Persiapan dimaksud terutama menyangkut transformasi sosial dan budaya yang akan menjadi prasyarat keberhasilan pembangunan.

Kontributor : Dr. Hermen Malik

Direktur LP2B





Budaya Kontinu Ditinggalkan, Budaya Digital Belum Didapatkan

29 06 2009

Ketertinggalan dan keterbelakangan suatu negara kebanyakan ditimpakan kepada sistim pemerintahan yang diktator, sistim ekonomi yang monopolis, penjajahan yang lama, sumber daya alam yang minimal, dan faktor-faktor lainnya termasuk faktor budaya. Pada stadium agrikultur primordial struktur sosial peradaban adalah mirip. Masyarakat terdiri atas komunitas dengan seorang atau sekelompok pemuka yang arif dan bijaksana yang sering disebut sesepuh yang menjadi panutan komunitas tersebut.

Masyarakat merupakan agregasi keluarga, falsafah dasar yang dianut adalah kebersamaan dalam suatu keluarga besar dan bukan kompetisi individu, kepentingan pribadi mengalah dengan kepentingan komunitas. Rajutan budaya seperti ini disebut budaya kontinu. Sebaliknya masyarakat yang dibangun dengan sistem sosial yang diskret disebut rajutan budaya digital. Dalam budaya seperti ini eksestensi serta kedudukan individu mendapat pengakuan yang syah dan kepentingan pribadi menjadi prioritas utama.

Di Bumi Nusantara yang dihuni oleh masyarakat dengan multi etnis dan subkultur telah memutuskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Keanekragaman budaya ini dapat merupakan suatu kekuatan, jika mampu menggali maknanya dan memanfaatkan kelebihannya. Sebaliknya dapat merupakan kelemahan jika kita tidak mampu menggabungkan kelebihan-kelebihan multi budaya tersebut. Yang menjadi pertanyaan, mampukah kita menggali kelebihan-kelebihan budaya lokal untuk berkontribusi terhadap budaya nasional? Dapatkah kita merubah ancaman multi budaya menjadi peluang?

Kita harus menciptakan Budaya Indonesia modern dengan berlandaskan multi budaya lokal. Kita memetakan, mengidentifikasi kearifan lokal yang positif meninggalkan budaya lokal yang negatif seperti rasa saling iri, irasional buta, kurang inovatif, konsumtif, berfikir jangka pendek, lesu, tidak disiplin, punya etos kerja lembek, dan mental negatif lainnya. Selain itu, kita menseleksi budaya luar yang progresif untuk menghindari kemandekan budaya yang mengakibatkan masyarakat pasrah yang berujung pada stagnasi peradaban.

Secara umum para pakar berkesimpulan penyebab utama kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan adalah faktor budaya. Fakta diberbagai negara menunjukkan bahwa kemakmuran suatu negara berkorelasi erat dengan budaya yang digambarkan dengan tingkat teknologi yang dikuasai oleh negara tersebut. Sebaliknya, kemiskinan suatu masyarakat berkorelasi langsung dengan rendahnya teknologi yang dikuasainya. Namun, sungguhpun kita menginginkan kecepatan tinggi, perubahan budaya tidak bisa dilakukan secara revolusi karena akan gagal seperti revolusi kebudayaan di Cina dan The Killing Fields di Kamboja. Cara yang paling tepat memodifikasi budaya tanpa melalui gejolak sosial adalah pendidikan.

Dalam budaya kontinu banyak dianut sistem nilai irrasional seperti praktek perdukunan dan jauh dari mempertahankan hak atas kebenaran pendapat individu, sedangkan dalam budaya digital dianut sistem nilai rasional dan mempertahankan kebenaran pendapat dan perbedaan pendapat. Sebagian orang pada kondisi sistem nilai yang bertentangan seperti ini ingin memenuhi kedua nilai yang berlawanan tersebut pada secara bersamaan, sehingga menganut sistem nilai ganda dan standar ganda. Orang tersebut, akibatnya, menjadi manusia munafik (hypocrite) dan tidak jujur (dishonest). Konflik nilai seperti ini akan menjadikan kebingungan dan ketidakpastian dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mendorong munculnya serangkaian kerusuhan, perkelahian antar pelajar, kesurupan dan keresahan-keresahan sosial lainnya.

Masyarakat budaya digital menampilkan kinerja yang dinamis dan progresif dengan orientasi ke masa depan, hemat, tekun, kreatif, edukatif, adil, jujur, konsisten, dan bekerja berdasarkan prestasi. Sebaliknya budaya kontinu berorientasi masa lalu, boros, statis, etos kerja rendah, kurang terdidik, kurang jujur, nilai-nilai terlalu fleksibel dan menganut nilai-nilai kekeluargaan sehingga rentan terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam banyak kajian budaya statis seperti ini menjadi penghambat utama dari proses pengembangan sains dan teknologi. Nilai-nilai budaya negatif perlu ditinggalkan dan mengasimilasi nilai-nilai positif yang datang dari budaya luar.

Jika diperhatikan, budaya tumbuh dalam waktu yang lama, budaya yang telah berkembang masih dipertahankan semantara budaya yang baru mulai berkembang. Dalam era informasi sekarang ini, dinamika perubahan begitu cepat, sehingga budaya yang baru belum diketahui maknanya dan belum berasimilasi sepenuhnya, sementara budaya yang lama sudah ditinggalkan. Contoh: Ketika keluarga dari desa pada budaya lama mengirim anaknya sekolah ke kota dititipkan pada keluarga yang tinggal di kota. Anak tersebut mengikuti sistem nilai dan aturan dari keluarga yang ada di kota sehingga tidak membingungkan anak tersebut. Pada budaya baru, sudah jarang anak sekolah dititipkan pada keluarga yang ada di kota dan memilih tempat kost sebagai tempat tinggalnya. Ditempat kost aturan belum disiapkan secara ketat, sementara dari desa anak belum diajarkan budaya kost yang tidak memiliki panutan seperti jika ikut keluarga. Dengan budaya seperti ini anak sering kehilangan pedoman bertingkah laku yang wajar, akhirnya pembangunan karakter dan kepribadian tidak tercapai.

Di Provinsi Bengkulu, keraifan lokal melekat pada etnis lokal Bengkulu yang terdiri dari etnis: Bengkulu melayu, Rejang, Serawai, Lembak, Kaur, Semende, Pasemah, Enggano, Muko-muko dan Pekal. Kearifan lokal serat dengan nilai-nilai kemanusiaan, perekonomian, ketuhanan, demokrasi, lingkungan dan lain-lain. Sebagai contoh aturan pembukaan hutan oleh etnis Rejang yang merupakan kearifan lingkungan dengan sebutan Imbo U’air (hutan muda), Penggea Imbo (hutan pinggiran); Kearifan etnis serawai yaitu celako umo (cacat umo) yang terdiri dari: ulu tulung buntu, sepelancar perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang, bapak mengunggu anak, dan nunggu sangkup. Siapa melanggar celako umo akan sakit. Pembelajaran manusia seutuhnya digambarkan dengan nasehat untuk menjadi anak yang Belaram dan pembentukan tim work yang baik serta konsisten dalam bertingkah laku digambarkan oleh kearifan lokal dengan sebutan dan sekundang setungguan. Kearifan etnis Kaur yang terbuka dan menerima kebudayaan luar dengan karakter yang kuat malalui petatah petitih seperti “Merantau lame pegilah, asalkan jangan pindah diwe”.

Kearifan lokal harus dipetakan, diidentifikasi, dipelajari maknanya secara terencana dan sungguh-sungguh. Kebudayaan lokal yang positif yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan karakter, mendorong jiwa kewirausahaan, memperhatikan lingkungan dan makna positif lainnya hendaklah digali dan diterapkan dalam mendorong kemajuan daerah. Kearifan lokal di Bengkulu kebanyakan digambarkan dengan simbol dalam bentuk kata-kata bijak, pantun, nyanyian, tarian, pincak silat, dan adat istiadat lokal lainya. Kini, kearifan lokal yang ada hanya kita jadikan tontonan dan pajangan saja, tidak kita gali, pelajari dan telusuri maknanya.

Kontributor:

Dr. Hermen Malik

Direktur LP2B





Yayasan Semarak Bengkulu Bentuk Lembaga Pengkajian Pembangunan Bengkulu (LP2B)

24 06 2009

LOGO LP2BBengkulu – Kondisi perkembangan masyarakat Bengkulu yang kebanyakan hanya mengkritik tanpa memberi solusi serta banyaknya hasil pembangunan yang tidak tepat sasaran membuat Yayasan Semarak Bengkulu menjadi prihatin. Menurut mereka, diperlukan lembaga yang dapat berperan dan berpartisipasi dalam rangka pembangunan Bengkulu. Untuk itu, pengurus Yayasan Semarak Bengkulu melalui SK No: 92/A-I/YSB-VI/2009 tanggal 18 Juni 2009 menyatakan pembentukan Lembaga Pengkajian Pembangunan Bengkulu (LP2B).

Hal ini diungkapkan Ketua Yayasan Semarak Bengkulu, Sakum Lair kemarin, saat jumpa pers di Sekretariat Yayasan Semarak Bengkulu Jl. Jenderal Sudirman 5 Bengkulu kemarin. Jumpa pers tersebut dihadiri oleh Chairil Asikin B.Sc, Sakum Lair, Mardi Yusuf, Drs. H. Anwar Razali, Dr. Hermen Malik serta Dr. Elektison Somi, SH., M.Hum.

“Yayasan kita ini sudah berumur, sudah mencetak banyak SDM-SDM yang berperan penting dalam pembangunan Bengkulu. Kami pikir, sudah selayaknya memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan Bengkulu, ini sesuai dengan cita-cita Yayasan sejak tahun 1928 lalu”. Pembentukan lembaga ini, lanjut Sakum, berdasarkan hasil keputusan pertemuan Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus Yayasan.

Adapun tugas lembaga meliputi pengkajian secara ilmiah perencanaan kegiatan pembangunan serta analisis terhadap pelaksanaan pembangunan Bengkulu.

Ditambahkan Ketua Badan Pengawas Yayasan Semarak Bengkulu, Drs. H.W.N. Djangjaja, pendirian LP2B ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang ikut dalam Lembaga inipun bukan hanya sembarang orang, selain pakar yang berasal dari Universitas dan Perguruan Tinggi terkemuka di Bengkulu, mereka yang dipilih dalam lembaga ini rata-rata menyandang gelar Master dan Doktor.

Pengkajian yang dilakukan, lanjut Djangjaja, dalam bentuk penelitian, diskusi ilmiah dan publikasi ilmiah. Lembaga juga diberikan wewenang untuk melaksanakan pengkajian terhadap potensi dan kondisi Bengkulu dalam perencanaan pembangunan maupun hasil pelaksanaan pembangunan yang sudah dilakukan, mendorong tercapainya good governance, mensosialisasikan hasil pengkajian pembangunan kepada masyarakat lalu merekomendasikan hasil kajian kepada pemerintah daerah kepada lembaga terkait lainnya, seta menyusun dan mengalokasikan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan pengkajian. Juga berkewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Yayasan Semarak Bengkulu.

 “LP2B juga bisa bekerjasama delam melakukan kegiatan, bekerjasama dengan lembaga dan instansi pemerintah, Pemda maupun swasta. LP2B juga tidak hanya mengkaji pembangunan teknologi saja, tapi mengkaji budaya, seni dan ekonomi juga” jelas Djangdjaja.

Sementara itu, Ketua LP2B yang ditunjuk Dr. Hermen Malik juga menambahkan, LP2B akan membantu Pemda bersama-sama mewujudkan optimalisasi potensi pembangunan di Bengkulu. Selain itu, juga membantu masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan pembangunan yang ada di Bengkulu dengan menginformasikan hasil riset yang didapat.

LP2B juga membantu pemerintah dalam menentukan pilihan-pilihan solusi yang sedang dicari seperti yang terjadi sekarang ini, sebagai contoh, LP2B bisa mengkaji pilihan-pilihan solusi dalam menyelesaikan permasalahan dampak pengangkutan batubara. LP2B lebih diprioritaskan untuk kemajuan pembangunan Provinsi Bengkulu.

 

KEPUTUSAN PENGURUS YAYASAN SEMARAK BENGKULU NOMOR: 93/A-I/YSB-VI/2009 TENTANG PEMBENTUKAN PENGURUS LEMBAGA PENGKAJIAN PEMBANGUNAN BENGKULU (LP2B)

 

PENANGGUNG JAWAB : Ketua Yayasan Semarak Bengkulu
PENGURUS    
Ketua : Dr. Hermen Malik
Wakil Ketua : DR Elektison Somi, SH., M.Hum
Sekretaris : Nurul Iman Supardi, ST., MP.
Anggota : Prof. DR. H. Rohimin, M.Ag.
    Drs. H.W.N Djangdjaja
    Yanto Sufriadi, SH.,M.Hum
    Drs. S.Effendi M.S
    M. Harry Afriady, ST., M.Kom
    Dra. Hj. Nurul Fadilah., M.Pd
Koordinator Kesekretariatan : Chairul Asikin, B.Sc.

 Sumber : Harian Rakyat Bengkulu – Selasa, 23 Juni 2009.





Pembangunan Berbasis Masyarakat: mungkinkah dapat menjawab masalah sosial?

24 06 2009

Pembangunan  menurut  pengertian umum adalah suatu upaya terencana untuk merubah wilayah dan masyarakat menuju keadaan lebih baik. Dari tinjauan Ilmu sosial, pembangunan diartikan perubahan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara optimal.  Strategi pembangunan berkembang dari masa ke masa secara dinamis sesuai dengan konteks peradaban. Paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi mulai ditinggalkan karena tidak dapat menjawab masalah sosial  seperti kemiskinan, kenakalan, kesenjangan, dan keterbelakangan. Paradigma pembanguan kemudian beargeser ke arah pendekatan masyarakat yang sebelumnya sebagai objek menjadi subjek pembangunan. Paradigma baru ini berbasis komunitas dengan memberikan tempat utama bagi prakarsa, keanekragaman lokal, dan kearifan lokal.

Keunggulan pembanguan berbasis masyarakat mengarahkan perkembangan pada: (1) Kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan; (2) Konsep teknologi tepat guna, indigenous technology, indigenous knowledge dan indigenous institutions sebagai akibat kegagalan konsep transfer teknologi; (3) Tuntunan masyarakat dunia tentang hak asasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam proses pembangunan; (4) Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang merupakan suatu alternatif paradigma pembangunan baru; (5) Lembaga swadaya masyarakat; (6) Meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendekatan pengembangan masyarakat dalam praksis pembangunan.

Pembangunan berbasis masyarakat menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya.  Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sebagian besar masyarakat berdaya adalah indifidunya memiliki kesehatan fisik, mental, terdidik, kuat dan berbudaya. Membudayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidaksehatan, dan ketertinggalan. Untuk mendorong masyarakat berdaya  dengan cara menciptakan iklim atau suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Pengembangan daya tersebut dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangikitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat.  Penguatan tersebut meliputi penyediaan berbagai masukan serta membuka akses pada berbagai peluang yang ada.  Masyarakat menjadi pelaku utama pembanguan, dengan inti pemberdayaan adalah transformasi menejemen komunitas menuju kesejahteraan bersama. Pemberdayaan ini merupakan sarana ampuh untuk keluar dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan menuju kesejahteraan bersama. 

Pembangunan tanpa memperhatikan kharakteristik dan kebutuhan lokal akan banyak membuang sumberdaya secara sia-sia. Kharakteristik geografi  seperti  lokasi dekat laut, pinggir sungai, pinggir hutan, pedalaman sangat berpengaruh terhadap model pembangunan yang diimplementasikan. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian utama adalah kearifan lokal yang memerlukan inventarisasi, reorientasi, dan reinterpretasi maknanya. Model pemberdayaan yang  sering dan mudah dilakukan  yaitu dengan mengeneralisasi  pemberdayaan masyarakat secara nasional. Pendekatan  pemberdayaan secara nasional dilakukan dengan asumsi bahwa kebutuhan masyarakat sama untuk seluruh daerah atau sama dengan kebutuhan penyusun kebijakan. Inilah penyebab utama pembangunan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (penghamburan sumber daya). Akhirnya dalam beberapa kasus, masyarakat tidak menghiraukan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.  Selain pembangunan yang telah dilaksanakan tidak bermanfaat, jeneralisasi seperti ini mereduksi kebudayaan lokal yang dapat menjadi modal sosial pembangunan. Oleh karena itu, pemberdayaan yang disusun secara nasional patut direevaluasi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayahnya masing-masing. 

Langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemberdayaan adalah pertama, memilih prioritas, menyusun alternatif–alternatif pelaksanaan, mengevaluasi dan melakukan inovasi. Kedua, dapat membuka akses kepada sumber daya pendukung lainnya,  termasuk membuka jaringan kepada komunitas lainnya. Ketiga, kebersamaan dalam pemanfaatan dan kepemilikan alat-alat produksi. Terakhir, memperkuat masyarakat untuk ikut secara langsung dalam menentukan arah kebijakan yang kondusif  bagi perkembangan mereka. Pembangunan dengan model seperti ini menjadikan masyarakat subjek pembangunan (bukan objek pembangunan), sehingga masyarakat sudah mempertimbangkan kondisi dan budaya lokalnya masing-masing sebelum menentukan alternatif-alternatif pilihan.

Keberhasilan pemberdayaan bukan hanya secara administrasi sudah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, akan tetapi yang lebih substantif yaitu  apakah kegiatan tersebut dapat bertahan lama setelah selesai proyek (kebanyakan selesai proyek selesai pula kegiatan). Kegiatan dapat bertahan lama apabila pembangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan, bermanfaat dan tidak bertentangan dengan sistem nilai masyarakat.  Tugas pemerintah/ lembaga adalah mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan kemandirian. Pemberdayaan dikatakan sangat berhasil apabila kegiatan tersebut dapat berkembang dan dicontoh oleh  masyarakat lainnya. 

Kontributor:

Dr. Hemen Malik – Direktur LP2B





Bangun Desa Selamatkan Bangsa

23 06 2009

Sisi negatif pembangunan ekonomi yang kita laksanakan semenjak orde baru ternyata menciptakan sifat serakah,  keinginan jalan pintas, kurang sensitif kepada masalah sosial, berfikir jangka pendek, menghalalkan segala cara untuk mengejar kebendaan dan budaya konsumerisme. Keadaan seperti ini mereduksi budaya lokal sehingga memporakporandakan tata nilai masyarakat perdesaan. Banyak orang yang tercabik dari akar budayanya dan kehilangan kendali kehidupan. Kebanggaan terhadap desa terkikis oleh liberalisasi ekonomi yang akan menggilas habis kearifan lokal sebagai sumber tata nilai masyarakat desa yang menginginkan kehidupan tentaram , harmoni dan serasi.

 Pencitraan desa menjadi negatif akibat pembangunan nasional dengan ekonomi sebagai panglimanya. Simbol desa dengan kebanggan terhadap kegiatan pertanian diganti dengan kebanggaan terhadap kartu kredit, asuransi, kendaraan, rumah mewah, HP, kulkas dan atribut modern lainnya. Lahan persawahan, perkebunan, dan ladang tidak lagi populer di mata orang desa karena begitu rumitnya kebutuhan moderenisasi. Kegiatan pertanian selalu jadi korban dari tuntutan hidup yang tidak berbanding imbang dengan investasi  yang ditanamkan. Sifat konsumtif tidak mampu dipenuhi dibalik sawah, kebun dan ladang. Pertanian tidak lagi sebagai investasi yang menarik karena kebijakan-kebijakan yang meminggirkan desa dan usaha pertanian.

Pembangunan ekonomi yang kita jalankan sekarang bukan pembangunan ekonomi yang ramah terhadap masyarakat desa, buruh tani dan masyarakat miskin. Keberhasilan dimaknai oleh kesejahteraan ekonomi semata, kota dianggap lebih sejahtera dari masyarakat desa dan di kota dianggap lebih mudah untuk meningkatkan kesejahteraan dari pada di perdesaan. Desa dipandang sebagai tempat orang miskin, bodoh, lugu, dan tempat yang tidak dapat meningkatkan kesejahteraan. Cara pandang ini mengakibatkan terjadinya urbanisasi ke perkotaan. Urbanisasi tersebut ternyata berperan penting dalam transformasi cara pandang masyarakat perdesaan terhadap desa dan kota. Pembangunan seperti ini secara tidak sengaja mencederai desa dengan beberapa indikator seperti mematikan kearifan lokal, menguras sumber daya alam, merusak demokrasi perdesaan, mengabaikan kualitas sumberdaya manusia, ketertinggalan infrastruktur pertanian dan perdesaan, kelembagaan ekonomi yang terbelakang, tata nilai yang belum sepenuhnya mencerminkan daya saing yang dapat diandalkan, dan organisasi petani yang tidak berkembang. Kesemua faktor tersebut harus diperbaiki untuk mengejar ketertinggal pembangunan perdesaan.

 Kesenjangan tersebut nampaknya  sebagai konsekwensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi yang cenderung  mengakibatkan swasta dan pemerintah melakukan investasi dengan fokus di kawasan perkotaan saja. Sinkronisasi perekonomian antar wilayah dan trickle down effect yang diharapkan tidak terjadi, hal ini malah menimbulkan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan (backwash effects). Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan menurun, sebaliknya prosentase kemiskinan di daerah perdesaan meningkat. Pembangunan perekonomian wilayah perkotaan tidak sinergis dengan perekonomian yang dikembangkan di wilayah perdesaan.  Peran kota yang diharapkan dapat mendorong perekembangan perdesaan justru menghambat pertumbuhan perdesaan. Sebagai contoh, agro industri yang seharusnya dibangun di desa, dialokasikan di kota. Akibatnya nilai tambah yang semestinya dinikmati oleh masyarakat desa di ambil oleh masyarakat kota.

 Reka ulang   pola  pembangunan yang selama ini diimplementasikan perlu segara dilakukan. Pelajaran yang kita ambil dari kesalahan masa lalu yaitu kaitan antara isu ekonomi dan budaya, dan kaitan antara pembangunan desa dan kota tidak dipadukan. Mungkinkah pembangunan kota tanpa didukung pembangunan desa? Dapatkah pembangunan ekonomi dijalankan tanpa keikutsertaan budaya lokal (kearifan lokal)? Pola yang ada selama ini, tanpa disadari telah menyebabkan terjadinya  missing link antara transformasi ekonomi dan kearifan lokal dan missing link antara pembangunan perkotaaan dan perdesaan. Transformasi pembangunan ekonomi membutuhakan kearifan lokal dan transformasi pembangunan perkotaan membutuhkan transformasi pembangunan perdesaan. Begitu juga sebaliknya, keduanya harus terintegrasi.

 Teknologi yang diimplementasikan membikin orang desa gelisah. Harga gabah murah, harga bibit tinggi, pupuk langka dan harganya tidak terjangkau,  prasarana perdesaan minimal, fasilitas keuangan tidak tersedia dan informasi pertanian sangat sulit didapatkan. Harga gabah tidak sebanding dengan input seperti harga bibit, pupuk, pestisida , tenaga kerja dan resiko kegagalan usaha tani. Harga pupuk dan bibit mahal dan tidak tersedia tepat waktu yang akibatnya hanya menguntungkan pemilik modal, prasarana perdesaan sangat minimal sehingga harga yang diterima petani rendah. Fasilitas keuangan dan informasi teknologi yang mendukung aktifitas pertanian sangat langka yang menyulitkan persaingan produk perdesaan.

 Memperhatikan pengalaman tersebut di atas, pembangunan perdesaan tidak mungkin akan berhasil dengan cara yang selama ini kita lakukan yaitu menekankan pada pembangunan perkotaan, prioritas pembangunan hanya berdasarkan perhitungan ekonomi dan membiarkan liberalisasi perdagangan untuk desa dan kota serta untuk orang miskin dan kaya. Keberpihakan negara pada pembangunan desa, pertanian dan orang-orang miskin   mutlak diperlukan agar masyarakat desa yang hidup dari pertanian dan kebanyakan miskin sumber daya dapat menjadi mitra sejajar dan saling mengisi dengan pembangunan perkotaan, para industriawan dan pemilik modal. Apabila desa hanya menjadi sapi perahan mereka, maka ketahanan ekonomi, sosial dan budaya menjadi taruhannya.

Kontributor :

Dr. Hermen Malik – Direktur Lembaga Pengkajian Pembangunan Bengkulu (LP2B)





Kegagalan Pemahaman Terhadap Visi Pembangunan

13 06 2009

Kita tidak menyadari bahwa kita sebenarnya mengalami krisis yang luar biasa yaitu dangkalnya pemahaman terhadap visi kehidupan manusia. Kedangkalan pemahaman terhadap hampir seluruh aspek pembangunan baik pembangunan fisik maupun non fisik. Kegagalan kita terutama dalam mengidentifikasi hakekat pembanguan yang sesungguhnya, kita terlena oleh indikator-indikatar fisik yang sebenarnya merupakan tujuan antara, bukan merupakan tujuan pembangunan. Kegagalan tersebut baru nampak ketika tidak tercapainya peningkatan kualitas kehidupan yang diidam-idamkan, akan tetapi sebaliknya yang terjadi adalah krisis ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lingkungan.

Kerapuhan di bidang ekonomi nampak pada krisis ekonomi tahun 1998 yang dimulai dengan krisis system perbankan yang kemudian menjalar ke krisis multidimensi yang menerpa sisitem pemerintahan, social dan budaya masyarakat. Sistem kita ternyata tidak mampu mengakomodasi gelombang dahsyat globalisasi yang melanda Indonesia. Globalisasi datang secara terselubung melalui kendaraan perdagangan bebas, teknologi, dan komunikasi yang tidak mengenal batas Negara. Krisis tersebut mereduksi kegiatan industri yang tidak berbasis sumberdaya lokal (non resource based) dan berskala besar. Untunglah kegiatan Industri kecil dan menengah menyelamatkan Indonesia dari krisis yang lebih dahsyat lagi.

Kita patut berbangga menjadi salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia saat ini. Dengan demokratisasi, rakyat menjadi lebih mudah menyalurkan aspirasinya karena dekat dan berfungsinya pemerintah dan wakil rakyat di daerah. Akan tetapi aspek negatif dari demokrasi lebih menonjol dari pada aspek positifnya, sebagai contoh, dengan diterapkannya otonomi daerah sering terjadi benturan vertikal antara tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi dan juga pusat. Benturan horizontal juga terjadi antara DPRD dan pemerintah daerah dalam satu kabupaten atau provinsi, dan juga antara pemerintah di daerah yang berdekatan. Sering juga terjadi benturan antara wilayah yang bertetagga, kita ternyata belum dapat mewujudkan sinergitas antara pemerintah daerah dalam satu kawasan. Keadaan ini lebih banyak menimbulkan persaingan yang negatip antar daerah yang mengakibatkan tidak efisiennya pembangunan secara keseluruhan.

Masyarakat kita sekarang memiliki moralitas minimalis, moralitas seperti ini bukan hanya persoalan hukum tetapi juga persoalan kepatutan moral. Ciri yang menonjol dari masyarakat tersebut yaitu memiliki kharakteristik immoral, berpura-pura, berbohong, berwajah ganda dilakukan demi mencapai tujuan. Sekarang kita kehilangan system nilai yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku yang layak dan yang tidak layak. Secara tidak sadar sistem yang dijalankan telah menciptakan manusia serakah, kesenangan dengan kebendaan, berkeinginan jalan pintas, kurang sensitif terhadap sosial, tidak disiplin, memiliki etos kerja yang rendah dan memiliki budaya konsumtif.

Kita terperanjat ketika sering terjadi perkelahian pelajar dihampir semua daerah mulai dari daerah terpencil sampai di ibukota Jakarta. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa, kita tidak hanya gagal menciptakan manusia cerdas, tetapi juga gagal menciptakan manusia yang berkarakter. Pendidikan telah menghasilkan manusia beringas yang kehilangan karakter dan sudah tercabik dari akar sosial masyarakat. Pendidikan yang kita terapkan terlalu berorientas kepada hard skill dengan tujuan mendapatkan nilai yang tinggi dan sertifikat kelulusan. Untuk mencapai tujuan tersebut segala cara dilakukan oleh siswa, keadaan menjadi semakin parah karena guru dan pegawai DIKNAS turut membantu siswa dengan cara yang tidak terpuji. Menurut UNESCO pendidikan harus mengandung 3 unsur utama yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do) dan belajar untuk hidup bersama ( learn to live together). Ternyata yang kita perhatikan hanya yang pertama dan yang ke dua. Dua pertama tidak berhasil dicapai dan yang ketiga adalah pembentukan karakter kita tinggalkan. Maka pantaslah President Roosevelt berkata bahwa mendidik orang dalam kecerdasan saja dengan mangabaikan karakter adalah ancaman bahaya buat masyarakat.

Di bidang lingkungan, ketika alam menunjukkan kehebatannya dengan gejala seperti (1)banjir terjadi dimana-mana termasuk wilayah yang selama ini tidak pernah kebanjiran; (2) pergantian musim tidak menentu; (3) angin putting beliung lebih sering terjadi; (4) penyakit mewabah dimana-mana dan (5) terumbu karang memutih serta air laut pasang lebih besar dari biasanya, menyadarkan kita bahwa kita telah gagal bekerjasama dengan alam untuk kemaslahatan umat manusia. Kita telah gagal menjaga titipan anak cucu kita akibat keserakahan kita dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam.

Dari beberapa fenomena tersebut di atas, sebelum kita terjerambab lebih jauh lagi, marilah kita melakukan reorientasi visi tersebut. Saya yakin kita dapat menyelesaikan masalah yang serius ini, apabila kita bicarakan secara bersama-sama, bersungguh-sungguh dengan menggunakan logika yang jernih dan hati nurani,. Masalah utama yang yang harus kita selesaikan terdiri dari visi, reposisi dan kepemimpinan. Semoga Allah memberi petunjuk, hidayah dan berkahNya kepada kita semua dalam upaya memperbaiki harkat dan martabat hidup ini.

Kontributor:

Hermen Malik, Ph.D

Dosen Universitas Bengkulu dan Anggota Dewan Riset Nasional