Kegagalan pembangunan di suatu negara atau daerah terutama disebabkan oleh kesalahan dalam mendesain ruang, menentukan urutan waktu, mengidentifikasi prioritas dan mengintegrasikan sumberdaya secara terpadu. Pembangunan yang kita laksanakan sekarang ini terlalu diprioritaskan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan hasil akhir yaitu efisiensi, produktivitas, stabilitas dan pertumbuhan dengan mengabaikan pembangunan di bidang sosial budaya.
Pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan sosial dan budaya, ketiganya memiliki hubungan yang komplementer. Pembangunan ekonomi tidak mungkin dapat dilakukan dengan berhasil dan tidak bisa berkesinambungan tanpa keserasian dengan pembangunan sosial budaya. Pengabaian pembangunan sosial budaya memunculkan keserakahan, ketidakhalusan budi pekerti dan ketidakjujuran yang mengakibatkan terjadinya kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup. Pembangunan di bidang sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembangunan di bidang ekonomi. Investasi di bidang sosial akan mendorong pertumbuhan ekonomi, kajian bank Dunia di beberapa negara menunjukkan bahwa pembangunan di bidang sosial yang ditunjukkan dengan indikator angka pertisipasi sekolah berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya dihasilkan oleh penambahan modal dan tenaga kerja, akan tetapi yang lebih menentukan adalah kualitas sumber daya manusia yang disebut human capital. Dengan demikian investasi di bidang sosial seperti pendidkan, kesehatan, pelatihan, keagamaan, dan karakter memegang pranan penting dalam meningkatkan produktivitas.
Akhir-akir ini kualitas SDM lebih menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara atau perusahaan dari pada modal uang. Pembangunan ekonomi akan mengakibatkan pemborosan sumber daya apabila kita mengabaikan pembangunan budaya, capaian pembangunan ekonomi tidak banyak manfaatnya jika tidak memiliki mentalitas pembangunan yang dapat memanfaatkan dan memelihara seluruh sumberdaya yang ada. Vietnam mampu merubah mentalitas perang ke mentalitas pembangunan dengan semboyan pembaharuan (“Doi Moi”). Cina membangun teknologi dengan mengutamakan konstruksi sosial dengan kekuatan budaya, hukum dan organisasi masyarakat. Korea di bawah Park Chung Hee menanamkan nilai “Semaul Undong” yang mengembangkan 3 nilai yaitu Diligence (kerja keras/rajin), self reliance (kemandirian) dan cooperation (gotong royong). Pembangunan bebasis nilai tersebut ternyata sangat menenentukan keberhasilan Korea membangun ekonominya.
Pembangunan nilai seperti ini menyangkut seluruh aspek kehidupan yaitu ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, sosial, budaya, fisik dan lingkungan. Kita melakukan sebaliknya membangun ekonomi dan fisik tanpa memperhatikan pembangunan nilai. Menurut Koentjaraningrat nilai budaya (mentalitas pembangunan) adalah mentalitas yang berorientasi pada masa depan, hemat, memiliki hasrat bereksploitasi dan berinovasi, memiliki nilai achievement/berkarya, percaya diri, kurang berorientsi vertikal, bertanggung jawab dan berdisiplin murni. Mental pembangunan seperti ini harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini.
Di Jepang, penanaman disiplin sangat ketat dilakukan sejak di awal usia sekolah sampai sekolah menengah atas, ketika di perguruan tinggi tanpa aturan yang ketat mereka sudah terlatih disiplin. Menanamkan mentalitas yang kuat dapat dilakukan dengan memberi contoh yang baik, memberi perangsang yang cocok, melakukan persuasi dan sosialisasi, memberikan pendidikan budi pekerti pada generasi muda. Kita nampaknya telah gagal membungun budaya, karena kita terlena oleh pembangunan ekonomi dan fisik yang mengutamakan output fisik dan indikator ekonomi semata. Sampai Paulus Wirotomo berpendapat bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang memiliki kemiskinan budaya (cultural defisiency) dan kebudayaan seperti ini disebut kebudayaan yang terkalahkan (defeated culture). Keadaan ini mengakibatkan Mochtar Lubis nampak agak gusar dengan memberikan pertanyaan kepada bangsa ini: apakah kita harus berputus asa? Apakah kebudayaan adalah sesuatu yang melekat pada suatu masyarakat? Apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun? Dari semua pertanyaan tadi yang paling memberikan harapan adalah apakah kita memang telah membangun budaya kita selama ini?
Saya kira kita memang belum membangun budaya kita, kita belum mampu memadukan pembangunan ekonomi dengan sosial budaya. Kita hanya membangun ekonomi dan fisik bangsa semata, kita telah mengabaikan pembangunan sosial budaya.
Banyak orang berpendapat bahwa lingkungan merupakan faktor penentu budaya suatu masyarakat. Masyarakat yang terletak di daerah tropis dimanjakan oleh alam sehingga memiliki watak yang santai dan pemalas. Masyarakat yang tinggal di pinggir laut, seperti di kota Bengkulu memiliki kharakteristik mudah merasa cukup dengan semboyan “ikan sejerek dan bere secupak” (merasa puas dengan menghasilkan 1,5 kg beras dan 1 ikat ikan); tidak jelas orientasi dan tidak percaya diri dengan jawaban “idak adoo” ketika ditanya mau kemana dan apa pekerjaan anda. Masyarakat bermental lemah yang ditentukan oleh alam seperti ini ternyata tidak selalu benar, banyak negara yang terletak di daerah tropik dan pinggir pantai seperti Malaysia, Singapura, Afrika Selatan dan negara tropik dan pinggir pantai lainnya yang ternyata bisa maju sejajar, bahkan melebihi bangsa maju lainnya.
Pengabaian pembangunan budaya menuai tingkah laku perusak, pengotor, pembohong dan budaya tidak konstruktif lainnya. Gambaran masyarakat bermental kalah nampak pada budaya peruskan fasilitas umum, contohnya, perusakan rambu-rambu lalu lintas seperti cermin yang berada di tikungan jalan Bengkulu–Curup; perusakan fasilitas telpon umum; Pencurian halte bis di Jakarta; pencurian besi di jembatan-jembatan; pembuangan sampah di sembarang tempat; perobekan buku-buku di perpustakaan dan budaya-budaya lemah lainnya. Apa saja yang kita bangun dengan susah payah dapat dengan mudah di rusak karena kesalahan prioritas pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus diprioritaskan dan diserasikan dengan pembangunan ekonomi.
Kontributor :
Dr. Ir. H. Hermen Malik, M.Sc
Direktur LP2B, Dosen Universitas Bengkulu, Anggota Dewan Riset Nasional